BAB I
PENDAHULUAN
Sepeninggal Ali bin Abu Thalib, gubernur Syam tampil sebagai penguasa Islam yang kuat. Masa kekuasaannya
merupakan awal kedaulatan Bani Umayah. Keberhasilan Muawiyah dalam meraih jabatan
khalifah dan membangun pemerintahan Bani Umayah bukan hanya akibat dari
kemenangan diplomasi di Shiffin dan terbunuhnya Khalifah Ali saja, melainkan
merupakan hasil akhir dari peristiwa-peristiwa politik yang dihadapinya dan
karir politiknya yang cukup cemerlang.
Jika dirunut secara
kronologis, keberhasilan Muawiyah dilatar-belakangi oleh beberapa faktor dan
peristiwa politik sebagai berikut.
Pertama, sejak masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab, kepribadian dan kematangan
karir politiknya sudah nampak. Pada masa itu, ia diangkat menjadi gubernur Syam
menggantikan Abu Ubaidah dan saudaranya, Yazid bin Muawiyah, yang meninggal
dunia akibat serangan wabah penyakit yang sangat ganas. Dengan usianya yang
masih muda, dia adalah politikus berpengalaman, dia tahu segala liku-liku
persoalan. Karena itu, kedudukan Muawiyah sebagai gubernur ini terus bertahan
hingga kekhalifahan Usman bin Affan dan awal kekhalifahan Ali bin Abu Thalib.
Kedua, pada awal pemerintahan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah diminta untuk meletakkan
jabatan, tetapi ia menolaknya. Bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali dan
memanfaatkan peristiwa berdarah yang menimpa Usman bin Affan untuk menjatuhkan
legalitas kekuasaan Ali dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan menuduh Ali
sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Usman, jika Ali tidak dapat menemukan
dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Ketiga, desakan
Muawiyah tersebut mengakibatkan terjadinya pertempuran sengit antara pihaknya
dan pihak Ali sebagai khalifah di kota tua Shiffin yang berakhir dengan proses
tahkim (arbitrase) pada tahun 37 H.
Dengan catatan kronologi di atas,
Muawiyah pun mampu mengambil alih kuasa kekhalifahan dari tangan pendukung Ali
dengan langkah-langkah yang menunjukkan bahwa dia-lah politikus hebat, cakap,
dan berpengalaman. Meskipun tak bisa dipungkiri juga akan segala modus
kelicikan yang beliau lakukan demi sebuah tampuk kepemimpinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Berdirinya Dinasti Umayah
Dinasti Umayah mengambil nama
keturunan dari Umayah ibn Abdi syams ibn Abdul manaf. Ia adalah salah seorang
terkemuka persukuan pada zaman jahiliyah, bergandengan dengan pamannya Hasyim
ibn ‘Abdi Manaf .
Dari nama umayah tersebut, maka
dinasti itu di sebut Dinasti Umayah yang selama pemeritahanya telah terjadi
pergantian sebanyak 14 orang khalifah. Mereka adalah Muawiyyah (661-68),Yazid I
(680-683), Muawiyah dua(683), Marwan(683-685), Abdul malik(685 -705), al Walid
I(705 -715), Sulaiman (715 -717), Umar II(717- 720), Yazid II (720-724), Hisyam
(724-743), Yazid III(744), Ibrahim (744), dan Marwan II (744- 750 M).
Semasa kepemimpinan muawiyah peta
Islam melebar ke timur sampai Kabul, Ghazni, Kandahar, Balakh, bahkan sampai
kota Bukhara. Sementara itu, di front barat panglima Uqbah Ibn Nafi’ menaklukan
Carthange (kartagona), ibu kota Binzantium di Ifriqiyah dan mendirikan masjid
bersejarah Qayrawan dengan membangun pusat kegiatan militer di kota Qayrawan.
Pemerintahan corak Republik menjadi
Monarchi (sulthanat/kingship) selain menerapkan corak pemeritahan yang
turun temurun, kekuasan di tetapkan menjadi milik diri Dinasti Umayah. Ialah
yang pertama memunculkan jurang antara Arab dan Mawalli. Ia pula yang pertama
kali menerapkan Diwan Al-Khatim dan Diwan Al-Barid. Diwan-diwan itu kemudian
berkembang maju pada masa Abdul Malik. Di bawah kepala dinas pos ini, ia juga
bangun pos-pos pemeriksaan supaya mudah mengontrol gerak musuh.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa pada
masa pemerintahannya, Muawiyah banyak sekali mendapatkan kecaman yang timbul
dari berbagai kelompok masyarakat yang tidak merestui akan berdirinya Dinasti
tersebut. Karena, dikatakan bahwa Muawiyah merebut kekuasaan atas jalan yang
licik dan kotor. Tapi, meskipun demikian beliau masih saja tegar dalam
menghadapi perlawanan tersebut dengan langkah penyelesaian yang akurat.
Kemajuan Dinasti Umayyah dilakukan dengan ekspansi, sehingga menjadi negara
islam yang besar dan luas. Dari persatuan berbagai bangsa dibawah naungan
islam lahirlah benih-benih kebudayaan dan peradaban islam yang baru. Meskipun
demikian, Bani Umayyah lebih banyak memusatkan perhatian
pada kebudayaan arab.
Kita bisa lihat pada zaman pemerintahan Abdul Malik, Salih Ibn Abdur Rahman,
sekretaris al-Hajjaj, mencoba menjadikan bahasa arab sebagai bahasa resmi di
seluruh negri. Meskipun, bahasa-bahasa asal tidak sepenuhnya dihilangkan. Dalam
pada itu, orang-orang non arab telah banyak memeluk Islam dan mulai pandai menggunakan
bahasa Arab. Perhatian bahasa Arab dimulai diberikan untuk menyempurnakan
pengetahuan mereka tentang bahasa Arab. Hal inilah yang mendorong lahirnya
seorang ahli bahasa seperti Sibawaih. Sejalan dengan itu, perhatian pada syair
arab jahiliyah pun muncul kembali sehingga bidang sastra Arab mengalami
kemajuan.
Bidang pembangunan fisik pun tidak luput dari perhatian para khalifah bani
umayyah. Masjid-masjid di semenanjung Arabia dibangun, katedral st. John di
Damaskus diubah menjadi masjid. Dan kadetral di Hims digunakan sekaligus
sebagai masjid dan gereja. Selain itu, di masa ini gerakan-gerakan ilmiyah
telah berkembang pula, seperti dalam bidang keagamaan, sejarah, dan filsafat.
Pusat kegiatan ilmiyah ini adalah Kuffah dan Basrah di Iraq.
Di masa Umar bin Abdul Aziz pun,
sering diundang para ulama dan fuqaha untuk mengkaji ilmu di dalam majelisnya.
Pada masa beliau dilarang mencaci lawan politik dalam khutbah. Bidang keagamaan
berjalan karena besarnya motivasi keagamaan pada masa itu, bidang filsafat
berjalan karena umat Islam pada akhir Bani Umayyah terpaksa menggunakannya
dalam perdebatan dengan kaum Yahudi dan Nasrani serta diantara sesama penganut
Islam.
C. Perkembangan Dinasti Umayah
Pembangunan dan komunikasi yang
kurang baik di berbagai provinsi dan kota, membuat Muawiyah berkonsultasi
dengan majlis syura. Satu sisi ia cukup membuka ruang demokrasi dengan
berkonsultasi dengan anggota dewan majlis syura, namun di sisi lain ia juga
mengampanyekan bentuk pemerintahan monarki dengan mengangkat Yazid menjadi
putera mahkota, bahkan ia menyampaikan barang siapa tidak terima jika islam
maju –bersama kepemimpinan model kesultanannya- maka pedang yang akan
meluruskannya. Karena hal tersebut, maka orang-orangpun berduyun-duyun
menyatakan sumpah setia kepada Yazid.
Sekalipun muawiyah tahu, bahwa
kebanyakan sahabat terkemuka tidak terima dengan munculnya Yazid sebagai
penggantinya, namun ia tetap membiarkannya. Contohnya Marwan, Gubernur Madinah
yang datang ke Damaskus untuk memprotes kebijakan pengangkatan Yazid sebagai
putera mahkota, namun akhirnya ia dipecat.
Masa kekuasaan Yazid sangat singkat
yaitu pada 680-683. Ia dibaiat oleh rakyat dengan setengah hati terutama oleh
penduduk Mekah dan Madinah. Meskipun pemerintahannya Monarki, namun masih
terdapat majelis syura yang menandakan tetap Demokratis. Pada masanya, Yazid
ditandai dengan tiga keburukan dan hanya satu kebaikan, yaitu pada tahun Pertama,
cucu nabi, Husen terbunuh di Karbala menyebabkan golongan Syi’ah lahir secara
sempurna dan menjadi penentang utama kekuasaannya. Tahun Kedua, tentara
Yazid menyerang habis-habisan kota Madinah dalam peperangan di Harra yang
mengakibatkan citra pasukan islam tercoreng di muka sendiri. Tahun Ketiga,
tentara Yazid menyerang dan membakar Ka’bah. Setelah pembantaian di Karbala,
mereka berontak dan mengaku Abdullah ibn Zubair menjadi khalifah mereka. Adapun
kebaikan yang diperbuat Yazid yaitu mengangkat kembali Uqbah ibn Nafi’ menjadi
gubernur kedua kalinya di Ifriqiyah/Qayrawan.
Dari hal-hal yang terjadi pada masa
khalifah Yazid, menunjukkan bahwa apabila kekuasaan sudah menjadi rebutan bagi
seseorang, maka harapan keadilan dalam kepemimpinan kandas, karena yang ada
dalam benak pemimpin yang demikian hanyalah kewibawaan dan pengaruh dirinya di
mata rakyat saja, sehingga hak dan kewajiban sebagai pemimpin tidak 100%
dijadikan sebagai amanah. Sebagaimana pada masa khalifah Yazid, sejak tahun
pertama sampai terakhir penuh dengan keburukan bahkan merupakan masa yang
paling buruk dalam sejarah seperti halnya keberanian tentara Yazid membakar
Ka’bah yang sangat tidak mencerminkan ke-Islaman sedikitpun.
Abdul Malik setelah menjadi khalifah
menghadapi yang banyak tantangan. Satu sisi muncul Muchtar sebagai pembela
kematian Husen di karbala, disisi lain musuh utama Umayah, Abdullah ibn Zubair
masih khalifah yang mengendalikan Mekah dan Madinah selama 9 tahun, selain itu
Khawarij dan Syi’ah menggoyahkan pemerintahan Umayah. Semua lawan ia hadapi
dengan cara yang berbeda dan akhirnya dapat membasmi kesemuanya. Saat menjelang
wafat, Abdul Malik meninggalkan negara yang aman tentram, makmur, maka ia
dijuluki sebagai pendiri Dinasti Umayah yang kedua.
Periode Abdul Malik mulai memasuki
periode keemasan dinasti Umayah. Ia mampu mencetak mata uang Arab dengan
nama Dinar, Dirham, dan Fals. Kemudian dia mendirikan kas negara di Damaskus.
Selain itu pertama kali dalam sejarah bahasa arab menggunakan titik (.) dan
koma (,) dan memperbaharui Qawa’id yang sudah dimulai sejak Zaman Ali Bin Abi
Thalib yang titugaskan kepada abu al-Aswad al-Duwaili. Disamping itu Abdul
Malik juga meningkatkan pelayanan pos dan komunikasi, juga memperbaharui
perpajakan.
Sungguh sangat tepat bahwa untuk mewujudkan kemajuan suatu negara yaitu
menghidupkan kebiasaan yang telah terlupakan sebagaimana halnya Abdul Malik, ia
menghidupkan kembali bahasa Arab yang merupakan bahasa utama kaum muslimin dan
merupakan bahasa al-Qur’an namun sudah terlupakan, ia menjadikan bahasa
arab sebagai penyatu kaum sebagaimana halnya negara kita yang memiliki beragam
bahasa, namun disatukan dalam satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia sehingga
memudahkan rakyatnya untuk saling mengenal satu sama lain.
D. Keruntuhan Bani Umayah
1. Faktor
Internal
Beberapa alasan mendasar yang sangat
berpengaruh terhadap keruntuhan Dinasti Umayah adalah karena kekuasaan wilayah
yang sangat luas tidak dibarengi dengan komunikasi yang baik, sehingga
menyebabkan suatu kejadian yang mengancam keamanan tidak segera diketahui oleh
pusat.
Selanjutnya mengenai lemahnya para
khalifah yang memimpin. Di antara empat belas khalifah yang ada, hanya beberapa
saja khalifah yang cakap, kuat, dan pandai dalam mengendalikan stabilitas
negara. Selain itu, di antara mereka pun hanya bisa mengurung diri di istana
dengan hidup bersama gundik-gundik, minum-minuman keras, dan sebagainya.
Situasi semacam ini pun
mengakibatkan munculnya konflik antar golongan, para wazir dan panglima
yang sudah berani korup dan mengendalikan negara.
2. Faktor Eksternal
Intervensi luar yang berpotensi
meruntuhkan kekuasaaan Dinasti Umayah berawal pada saat Umar II berkuasa dengan
kebijakan yang lunak, sehingga baik Khawarij maupun Syiah tak ada yang
memusuhinya. Namun, segala kelonggaran kebijakan-kebijakan tersebut
mendatangkan konsekuensi yang fatal terhadap keamanan pemerintahannya. Semasa
pemerintahan Umar II ini, gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh Bani Abbas
mampu berjalan lancar dengan melakukan berbagai konsolidasi dengan Khawarij dan
Syiah yang tidak pernah mengakui keberadaan Dinasti Umayah dari awal. Setelah
Umar II wafat, barulah gerakan ini melancarkan permusuhan dengan Dinasti
Umayah.
Gerakan yang dilancarkan untuk
mendirikan pemerintahan Bani Abbasyiah semakin kuat. Pada tahun 446 M mereka memproklamirkan
berdirinya pemerintah Abbasyiah, namun Marwan menangkap pemimpinnya yang
bernama Ibrahim lalu dibunuh. Setelah dibunuh, pucuk gerakan diambil alih oleh
seorang saudaranya bernama Abul Abbas as-Saffah yang berangkat bersama-sama
dengan keluarganya menuju Kuffah. Abbasyiah
berkewajiban untuk menundukkan dua kekuasaan Bani Umayah yang besar, yang satu
dipimpin oleh Marwan bin Muhammad dan satu lagi oleh Yazid bin Umar bin
Hubairah yang berpusat di Wasit. Kedudukan kerajaan Abbasyiah tidak akan tegak
berdiri sebelum khalifah-khalifah Umayah tersebut dijatuhkan terlebih dahulu.
As-Saffah mengirim suatu angkatan tentara yang terdiri dari laskar pilihan
untuk menentang Marwan, dan mengangkat pamannya Abdullah bin Ali untuk memimpin
tentara tersebut. Antara pasukan Abdullah bin Ali dan Marwan pun bertempur
dengan begitu sengitnya di lembah Sungai Dzab, yang sampai akhirnya pasukan
Marwan pun kalah pada pertempuran itu.
Setelah kekalahan itu, Marwan pun tak kuasa lagi menyusun kekuatan, sehingga
negeri Syam pun satu demi satu jatuh ke tangan Abbasyiah. Ketika Syam
ditaklukkan, Marwan melarikan diri ke Palestina dan berujung pada mautnya di
daratan Mesir. Marwan tewas dipenggal kepalanya oleh pasukan Abbasyiah lalu
dibawanya ke hadapan Khalifah Abu Abbas as-Saffah lantas bersujud.
Sepeninggal Marwan, maka benteng terakhir Dinasti Umayah yang diburu Abbasyiah
pun tertuju kepada Yazid bin Umar yang berkududukan di Wasit. Namun, pada saat
itu Yazid mengambil sikap damai setelah mendengar berita kematian Marwan. Di
tengah pengambilan sikap damai itu lantas Yazid ditawari jaminan keselamatan
oleh Abu Ja’far al-Mansur yang akhirnya Yazid pun menerima baik tawaran
tersebut dan disahkan oleh as-Saffah sebagai jaminannya. Namun, ketika Yazid
dan pengikut-pengikutnya telah meletakkan senjata, Abu Muslim al-Khurasani
menuliskan sesuatu kepada as-Saffah yang menyebabkan Khalifah Bani Abbasyiah
itu membunuh Yazid beserta para pengikutnya.
E. Komparasi al-Khulafa’ al-Rasyidun dan Dinasti
Umayah
Berikut ini hal-hal yang membedakan
masa kepemimpinan al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah dinasti umayah.
Namun, khusus dalam masa kepemimpinan Khalifah Umar II, berbeda dengan
khalifah-khalifah dari Dinasti Umayah yang lain. Berikut ini beberapa
perbandingan tersebut, di antaranya sebagai berikut.
1.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun
system pemerintahan dijalankan atas dasar al-Qur’an, hadits, dan ijma’,
sedangkan pada masa Dinasti Umayah dalam menjalankan roda pemerintahan,
perintah khalifah segala-galanya dan harus dipatuhi.
2.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun,
khalifah menganggap sebagai pelayan masyarakat, sedangkan para khalifah dinasti
umayah, menganggap diri mereka sebagai penguasa.
3.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun
bertahan karena dukungan rakyat, sedangkan dinasti umayah para khalifah
bertahan dengan kekuatan.
4.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun
tidak ada satu sukuyang berkuasa terus menerus, sedang pada masa dinasti umayah
dalam kekhalifahan hanya merekalah yang menguasai.
5.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun hak
berbicara dijamin dan rakyat dapat langsung menghadap khalifah, sedangkan pada
masa dinasti umayah hak bicara rakyat ditekan dan jika rakyat menghadap
khalifahharus melewati perantara yang disebut hajib.
6.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun
system demokrasi berjalan sedang pada masa dinasti umayah suara rakyat tidak
dihiraukan.
7.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun
tidak memiliki hak terhadap bait al-mal, sedang pada masa dinasti umayah bait
al-mal menjadi miliki khalifah sendiri.
8.
Pada masa al-khulafa al-Rasyidun,
pengaruh jahiliyyah berkurang, sementara pada masa dinasti umayah betambah.
Berpijak dari perbandingan di atas,
maka jelaslah bagaimana corak jalannya pemerintahan Dinasti Umayah. Track
record Dinasti Umayah tidak sebaik catatan pemerintahan Khulafaur-Rasyidin.
Pemerintahan Dinasti Umayah lebih banyak diwarnai dengan noda darah yang
terhunus sayatan pedang pasukan Umayah yang tak mencerminkan sama sekali
beragama Islam. Kebijakan yang diambil dan diterapkan hanya menjadi tameng kekuasaan
yang menuntut keabsolutan. Memang, karenanya banyak sekali pemberontakan yang
diselesaikan dengan tuntas, namun sejarah tetap mancatat akan ketidaksehatan
pemerintahan yang dijalankan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan latar belakang keluarga
Umayah yang sangat lihai dalam urusan politik pada masa jahiliyah, keberadaan
Muawiyah sebagai khalifah peertama Dinasti Umayah di tengah-tengah masyarakat
muslim kala itu sangatlah banyak menuai berbagai kecaman dari berbagai kalangan
di bawahnya.
Beberapa golongan dengan
terang-terangan menentang dan tidak mengakui kedaulatan Bani Umayah ini
sebagai kedaulatan yang Islami.
Hal itu terbukti dengan kinerja
Muawiyah dalam membangun Dinastinya yang mendiskreditkan keberadaan Syiah
(pengikut Ali), dengan mengambil sebuah tindakan untuk membunuh mereka semua,
sekalipun masih dicurigai. Ditambah lagi dengan ulah khalifah penerusnya yang
kebanyakan tak bermoral.
Terhitung hanyalah beberapa khalifah
saja yang berkompeten dalam memangku jabatan khalifah yang disematkan kepada
mereka. Dengan kecakapan, kepandaian, dan kepiawaian mereka dalam memimpin,
mereka mampu menghadirkan berbagai kemajuan dengan sebuah pencapaian gemilang
yang sangat berarti bagi perkembangan Islam waktu itu.
Namun, sikap amoral yang ditunjukan
oleh khalifah-khalifah yang tak bertanggung jawab dalam mengemban amanat,
membuat kedaulatan Bani Umayah berada pada ambang kehancuran. Ketidak sigapan
sistem keamanan menangkal intervensi luar, memudahkan berbagai serangkaian
usaha untuk melancarkan kudeta. Sampai akhirnya Dinasti Umayah pun jatuh
ditumpas Abbasyiah.
B.
Hikmah
Berpijak dari kesimpulan di atas, maka seyogianya kita mampu mengambil pelajaran
yang sarat dengan nilai luhur keislaman dengan mencamkan pada diri kita bahwa
jabatan yang besar dan tinggi yang tersemat pada diri kita, hendaknya kita
mampu mensikapinya sebagai amanat yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Bukan
sebagai sarana atau fasilitas kepuasan hawa nafsu.
Kita sendiri bisa melihat, bagaimana kedigdayaan Dinasti Umayyah runtuh karena
penyalahgunaan jabatan pemerintahan. Sebagian khalifah, wazir, dan jajarannya
yang gemar berfoya-foya, lalai dalam bertugas, bahkan tidak memerdulikan lagi
nasib rakyatnya. Akibatnya mereka pun hancur diserang pasukan yang selalu fokus
dan siap dalam kobaran semangat yang membara untuk menghancurkannya.
Oleh karena itu, cukuplah sejarah menjadi sumber ibrah bagi kita untuk memperbaiki
kualitas kehidupan dalam nuansa Islam yang senantiasa menaungi kita. Tidak
perlu ada lagi pemimpin yang bersikap dan berlaku amoral yang hanya akan
menjadi penyebab kehancuran suatu bangsa dan kaum.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy, Ahmad, Sejarah Islam. Jakarta:
Akbar, 2007.
Jaelani, Bisri M., Ensiklopedi Islam.
Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Karim, M. Abdul, Islam di Asia Tengah.
Yogyakarta: Bagaskara, tidak ada tahun.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam III.
Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta:
PT. Rajafindo Persada, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar